PROF. SUTAN NASOMAL: “Kalau Tak Bersalah, Mengapa Takut Diberitakan? Dewan Pers Jangan Jadi Lembek!”

JAKARTA, JERITAN RAKYAT -Seperti cahaya mentari yang menembus kegelapan, kehadiran insan pers di Republik Indonesia adalah elemen vital dalam mengawal demokrasi dan mengontrol jalannya kehidupan sosial masyarakat. Selasa (8/7/2025)
Sejak awal berdirinya republik ini, tugas insan pers tidaklah ringan. Mereka berperan penting dalam membongkar praktik busuk dan korup yang terjadi baik di tingkat bawah maupun di puncak kekuasaan. Mereka menguak bisik-bisik busuk di balik tembok birokrasi, serta menyeret keluar para oknum “tikus berdasi”—pejabat dan pegawai negara yang rakus dan tak segan menggerogoti uang rakyat.
Namun anehnya, tugas mulia ini kerap dicemooh. Banyak dari mereka dilabeli dengan sebutan sinis seperti “wartawan bodrek” oleh pihak-pihak yang merasa terganggu karena kebusukannya terbongkar ke publik dan menjadi viral.
Tugas Berat Wartawan: Menembus Sistem yang Sakit
Pena wartawan sejatinya adalah alat pemutus kezaliman. Ia dituntut mampu menembus dinding kekuasaan, mengupas kepalsuan di balik anggaran yang dibocorkan untuk memperkaya kelompok tertentu. Bahkan ketika dana daerah sudah digodok secara resmi, selalu saja ada celah yang dimanfaatkan para “oknum tikus” untuk menyunat demi kepentingan pribadi.
Dari desa ke kota, dari sekolah hingga ekspektorat, insan pers tak henti membongkar praktik pungli, kolusi, dan korupsi yang telah menjadi tradisi buruk.
Sistem hukum yang kabur, aturan yang dilipat-lipat, serta mental “asal bapak senang” (ABS) dan “asal bapak untung” (ABU) menjadi tantangan harian wartawan.
Ketika masyarakat merasa miskin dan tertindas, kadang bukan karena tak ada anggaran, tapi karena anggaran itu dirampas secara berjamaah oleh para oknum yang justru bertugas sebagai pelindung rakyat—di kantor partai, DPR, DPRD hingga lembaga tinggi negara.
Penindasan Terhadap Pers, Dari Narkoba hingga Human Trafficking
Insan pers juga menghadapi risiko besar saat meliput jaringan narkoba, yang peredarannya bahkan dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan atau apartemen mewah. Anggaran triliunan untuk pemberantasan narkoba nyatanya tak cukup jika aparat masih berisi oknum pelindung bisnis haram tersebut.
Di sisi lain, praktik perdagangan manusia masih marak. Buruh migran Indonesia diperlakukan layaknya komoditas. Bandara dan pelabuhan menjadi jalur keluar-masuk yang longgar tanpa pengawasan memadai. Di balik praktik ini, lagi-lagi muncul oknum yang menutup mata atau malah terlibat langsung.
Dan jika seorang wartawan bersikukuh menulis fakta, nyawanya bisa menjadi taruhan. Ada yang rumahnya dibakar hingga tewas sekeluarga, ada yang diculik lalu hilang tanpa jejak. Namun, kasus semacam ini sering kali “tidak cukup bukti” atau sengaja ditutup.
Di Mana Dewan Pers?
Lalu muncul pertanyaan besar: Apakah oknum tikus juga ada di bawah atap Gedung Dewan Pers? Mengapa tidak pernah terdengar ruang dialog terbuka antara Dewan Pers dengan berbagai organisasi pers nasional? Mengapa tidak ada upaya kolaboratif yang nyata untuk meningkatkan kualitas, kesejahteraan, dan perlindungan terhadap wartawan di seluruh Indonesia?
Sertifikasi Uji Kompetensi Wartawan (UKW) pun tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan para jurnalis. Justru setelah diuji, mereka tetap tidak mendapat dukungan struktural atau jaminan kerja yang layak.
Bagaimana mungkin Dewan Pers enggan bicara terbuka soal anggaran ratusan miliar rupiah yang mereka kelola?
Digunakan untuk apa?
Untuk siapa manfaatnya?
Kalau Tidak Bersalah, Kenapa Takut?
Dewan Pers semestinya berdiri bersama insan pers, bukan menilai dari kejauhan.
Apabila para pejabat merasa tidak bersalah, mengapa harus alergi terhadap pemberitaan? Justru insan pers adalah mitra penting dalam membangun transparansi dan integritas bangsa.
Namun jika wartawan dikerdilkan dan dicap sebagai ancaman, maka jelas: yang terganggu adalah oknum yang merasa terancam kepentingan gelapnya.
Tentu Dewan Pers memahami kalau para oknum tikus tidak bersalah kenapa takut sama INSAN PERS
Inilah tugas berat INSAN PERS yang sering di sebut WARTAWAN BODREK oleh banyak oknum yang merasa tidak nyaman ketika di beritakan sampai viral
https://share.google /OC2HPHp3fZcwo4vwb
“Jika tidak bersalah, mengapa takut diberitakan? Jangan sampai Dewan Pers malah menjadi lembaga yang gamang dan kehilangan arah perjuangannya.”
Narasumber : Prof. Dr. KH. Sutan Nasomal, SH, MH Pakar Hukum Internasional & Pembina Insan Pers Nasional
Imron, R. Sadewo (Bocah Angon) – Tim